Pemerintah mengesahkan Undang-undang (UU) Omnibus Law pada Senin, 5 Nopember 2020. Keputusan tersebut pun mengundang penolakan dari buruh hingga mahasiswa. Imbasnya para buruh yang tergabung dalam serikat pekerja serikat buruh melakukan demonstrasi untuk menolak di sahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law), termasuk para pekerja yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja Manufaktur Independen Indonesia (GSPMII). Para pekerja yang tergabung di GSPMII di berbagai wilayah di Indonesia melakukan aksi turun ke jalan melakukan protes terhadap di sahkannya UU Cipta Kerja. Omnibus Law berkaitan dalam bidang ekonomi. Namun, justru Omnibus Law menjadi ancaman bagi masyarakat, salah satunya sistem ketenagakerjaan yang tidak adil bagi para pekerja. Kontroversi RUU Omnibus Law yang membahas cipta kerja muncul karena pasal yang dianggap tidak memihak kalangan buruh. RUU Ciptaker sangat berpihak pada pengusaha yang diharapkan bisa meningkatkan iklim investasi. Berikut diantaranya pasal dan pembahasan RUU Omnibus Law yang menimbulkan kontroversi:
- Penggunaan tenaga outsource atau alih daya
Berbeda dengan UU Nomor 13 tahun 2003, tenaga outsource bisa digunakan di berbagai bidang termasuk proses produksi. Namun nasib pekerja outsource akan rawan ketidakpastian dan mungkin minim perlindungan. “Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya,” tulis RUU Cipta Kerja pasal 66 ayat satu dan dua. - Aturan upah bagi pekerja
RUU Omnibus Law memuat pasal terkait aturan pengupahan yang banyak ditentang kalangan pekerja. Aturan ini dinilai sangat berpihak pada kalangan pengusaha dan memandang buruh tak lebih dari mesin produksi. “Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil,” tulis RUU Cipta Kerja pasal 88 B. Selain itu, RUU Omnibus Law mengubah ketentuan upah minimum yang akan diterima buruh. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan provinsi serta kabupaten/kota. “Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi,” tulis RUU Cipta Kerja pasal 88 C. - Sanksi administratif bagi pengusaha
RUU Omnibus Law hanya menetapkan sanksi administratif bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran, misal dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengusaha tak lagi bisa dikenai sanksi pidana jika ketahuan melakukan kesalahan dan merugikan pihak lain. “Pemerintah pusat dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Pemerintah Pusat menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” tulis RUU Cipta Kerja pasal 77.